Oleh: Prabu Darmayasa
Kita jarang menyadari bahwa agama itu ke dalam, ada didalam, ya didalam hati, didalam jiwa, didalam roh kita. Biasanya kita menganggap yang agama itu adalah kalau kita “meriah-meriahan” di luar. Bahwa agama itu kalau yang ada kegiatan bebanten di luar. Bahwa agama itu kalau ada mantram-mantram dengan penyesuaian suara genta.
Bahwa agama itu kalau kita mengirim “Juru Arah” pergi ke rumah-rumah mengumumkan ada kegiatan ini itu di pura ini atau itu, ada acara nampah ini dan itu, — ya seperti itulah agama.
Bahwa yang namanya agama itu kalau kita bersama-sama dan beramai-ramai “menyetujui” aktivitas tertentu yang kita “poleskan” agama.
Bahwa agama itu kalau datang dari lembaga Parisada atau dari kantor agama.
Bahwa agama itu adalah kitab suci.
Bahwa agama itu adalah ada acara nampah, ada tarian rejang, ada pemasangan umbul-umbul.
Bahwa agama itu kalau kita berdiskusi kitab-kitab suci dan lontar-lontar, dan lain-lain, dan lain-lain.
Jarang kita secara sadar bersedia menerima bahwa agama itu berarti aktivitas mental spiritual ke dalam, karena agama itu ada didalam, ada di jiwa kita, ada di roh kita.
Jarang kita bersedia menerima bahwa agama berarti kita “menghitung” diri kita terlebih dahulu sebelum memulai hitungan terhadap orang lain.
Bahwa kita yang pertama harus ber”agama”,
bahwa kita yang pertama “berubah”,
bahwa kita harus melihat diri kita ada perubahan ke arah yang lebih baik, hari demi hari.
Mengenai orang lain, kita tidak ada hak dan sebaiknya tidak melihat apa dan bagaimana mereka. Sebab, sebelum kita memulai didalam, memulai ke dalam, memulai dari dalam, maka selama itu kita akan GAGAL memperbaiki orang lain, kita akan gagal melihat seperti apa yang ingin kita lihat didalam diri orang lain atai didalam masyarakat.
Pertanyaan pertama untuk diri kita sendiri mungkin HARUS disampaikan setiap hari, yaitu “Sudahkan saya mengingat/menyebut nama Narayana, Mahadeva …setiap pagi begitu saya bangun tidur?”
Pernah saya menekankan cara simple ini kepada puluhan orang. Tetapi, setelah berkali-kali memberikan penekanan, ketika saya tanya siapakah yang tekun mempraktekkannya, ternyata yang angkat tangan hanyalah 2 orang.
Ya…, hanya dua orang saja…. Hal itu menunjukkan bahwa masih sedikit diantara kita memberikan perhatian secara jujur pada praktek melainkan lebih menyukai “kesimpangsiuran” aturan peraturan agama, yang sering seberangan banjar telah berubah, tidak memiliki kesamaanm dan bahkan barangkali bertolak pinggang ehhhh …bertolak belakang…
Saya memiliki keyakinan kuat, bahwa perhatian pada praktek pribadi harus lebih dipentingkan, oleh kita semua tanpa terkecuali, dengan jujur dan berdisiplin diri, yang tidak usah orang lain tahu terhadap apa yang sedang kita lakukan. Praktek sederhana itu kita inginkan hanya dilihat oleh diri kita sendiri, hanya oleh kita, sebab ia harus DARI DIRI OLEH DIRI UNTUK DIRI.
Jika kita memperhatikan dengan teliti, ternyata banyak aturan-peraturan agama di masyarakat yang tidak sejalan dengan kitab suci, dan ia berperan keras dalam membuat kita menjadi malas untuk praktek sederhana, yang menyebabkan kita tidak suka beragama kedalam sebab lebih suka sibuk dalam aturan peraturan yang tidak memiliki kepastian sumber bonafid.
Postingan saya ini ada nada mementingkan sesuatu, bahwa dari sekian banyak Semeton HDnet yang membaca postingan ini, saya mengharapkan hanya seorang saja yang akan bertekad menerapkan disiplin bagun tidur menyebut nama Tuhan ini…., bukan untuk satu dua tahun, melainkan untuk seumur hidup….Sarve sukhinah bhavantu…semoga semua berbahagia…
sumber: http://www.hindu-dharma.org/2010/09/beragama-yang-sederhana/
Kita jarang menyadari bahwa agama itu ke dalam, ada didalam, ya didalam hati, didalam jiwa, didalam roh kita. Biasanya kita menganggap yang agama itu adalah kalau kita “meriah-meriahan” di luar. Bahwa agama itu kalau yang ada kegiatan bebanten di luar. Bahwa agama itu kalau ada mantram-mantram dengan penyesuaian suara genta.
Bahwa agama itu kalau kita mengirim “Juru Arah” pergi ke rumah-rumah mengumumkan ada kegiatan ini itu di pura ini atau itu, ada acara nampah ini dan itu, — ya seperti itulah agama.
Bahwa yang namanya agama itu kalau kita bersama-sama dan beramai-ramai “menyetujui” aktivitas tertentu yang kita “poleskan” agama.
Bahwa agama itu kalau datang dari lembaga Parisada atau dari kantor agama.
Bahwa agama itu adalah kitab suci.
Bahwa agama itu adalah ada acara nampah, ada tarian rejang, ada pemasangan umbul-umbul.
Bahwa agama itu kalau kita berdiskusi kitab-kitab suci dan lontar-lontar, dan lain-lain, dan lain-lain.
Jarang kita secara sadar bersedia menerima bahwa agama itu berarti aktivitas mental spiritual ke dalam, karena agama itu ada didalam, ada di jiwa kita, ada di roh kita.
Jarang kita bersedia menerima bahwa agama berarti kita “menghitung” diri kita terlebih dahulu sebelum memulai hitungan terhadap orang lain.
Bahwa kita yang pertama harus ber”agama”,
bahwa kita yang pertama “berubah”,
bahwa kita harus melihat diri kita ada perubahan ke arah yang lebih baik, hari demi hari.
Mengenai orang lain, kita tidak ada hak dan sebaiknya tidak melihat apa dan bagaimana mereka. Sebab, sebelum kita memulai didalam, memulai ke dalam, memulai dari dalam, maka selama itu kita akan GAGAL memperbaiki orang lain, kita akan gagal melihat seperti apa yang ingin kita lihat didalam diri orang lain atai didalam masyarakat.
Pertanyaan pertama untuk diri kita sendiri mungkin HARUS disampaikan setiap hari, yaitu “Sudahkan saya mengingat/menyebut nama Narayana, Mahadeva …setiap pagi begitu saya bangun tidur?”
Pernah saya menekankan cara simple ini kepada puluhan orang. Tetapi, setelah berkali-kali memberikan penekanan, ketika saya tanya siapakah yang tekun mempraktekkannya, ternyata yang angkat tangan hanyalah 2 orang.
Ya…, hanya dua orang saja…. Hal itu menunjukkan bahwa masih sedikit diantara kita memberikan perhatian secara jujur pada praktek melainkan lebih menyukai “kesimpangsiuran” aturan peraturan agama, yang sering seberangan banjar telah berubah, tidak memiliki kesamaanm dan bahkan barangkali bertolak pinggang ehhhh …bertolak belakang…
Saya memiliki keyakinan kuat, bahwa perhatian pada praktek pribadi harus lebih dipentingkan, oleh kita semua tanpa terkecuali, dengan jujur dan berdisiplin diri, yang tidak usah orang lain tahu terhadap apa yang sedang kita lakukan. Praktek sederhana itu kita inginkan hanya dilihat oleh diri kita sendiri, hanya oleh kita, sebab ia harus DARI DIRI OLEH DIRI UNTUK DIRI.
Jika kita memperhatikan dengan teliti, ternyata banyak aturan-peraturan agama di masyarakat yang tidak sejalan dengan kitab suci, dan ia berperan keras dalam membuat kita menjadi malas untuk praktek sederhana, yang menyebabkan kita tidak suka beragama kedalam sebab lebih suka sibuk dalam aturan peraturan yang tidak memiliki kepastian sumber bonafid.
Postingan saya ini ada nada mementingkan sesuatu, bahwa dari sekian banyak Semeton HDnet yang membaca postingan ini, saya mengharapkan hanya seorang saja yang akan bertekad menerapkan disiplin bagun tidur menyebut nama Tuhan ini…., bukan untuk satu dua tahun, melainkan untuk seumur hidup….Sarve sukhinah bhavantu…semoga semua berbahagia…
sumber: http://www.hindu-dharma.org/2010/09/beragama-yang-sederhana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar