Tragedi
kekerasan antarwarga kembali terjadi.
Minggu,
28 Oktober 2012 pukul 09.30 WIB di desa Sidorejo kecamatan Sidomulyo
kabupaten Lampung Selatan, telah terjadi bentrokan antara warga suku
Lampung dan warga suku Bali (polri.go.id).
Betapa
mirisnya mendengar hal tersebut terjadi. Negara Indonesia yang
notabene
Negara Ketuhanan, yang memiliki semboyan “Bhinneka
Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa”
seharusnya tidak menjadikan perbedaan sebagai pemicu suatu konflik.
Namun usangnya rasa toleransi, tenggang rasa, saling menghargai dan
menghormati menyebabkan konflik mudah menderai. Tidak hanya Lampung,
daerah lainpun sudah terkontaminasi dengan adanya konflik. Ini
menandakan, bangsa Indonesia perlu melakukan refleksi diri. 67 tahun
berada dalam kemerdekaan, bukannya semakin mempererat persatuan tapi
malah memperlemah persatuan. Itu terbukti dari adanya berbagai
konflik yang muncul di setiap daerah. Padahal, penyebabnya hanyalah
hal sepele. Dimana makna Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 28
Oktober 1928 silam?
Karakter
adalah keunikan, yang menjadi pembeda bangsa Indonesia di
tengah-tengah pergaulan global. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang
berkarakter kuat, menjunjung tinggi sopan santun, dan gotong royong.
Dengan karakternya yang kuat, bangsa ini mampu melepaskan diri dari
penjajahan walaupun bersenjatakan bambu runcing. Gotong royong dahulu
telah mendarah daging, sehingga tercetus dalam Pancasila sila ke-3
(Persatuan Indonesia) dan sopan santun, rasanya orang asing juga
sudah lama memberi tag
ini kepada bangsa kita. Namun, saat ini fakta berkata lain. Karakter
bangsa Indonesia yang tercermin dalam Pancasila hanyalah isapan
jempol belaka. Seolah-olah buta akan kebersamaan dan kekeluargaan.
Ini sesuai dengan pendapat Soedarsono (2008) yang mengatakan bahwa
karakter bangsa Indonesia yang selama ini kita kenal ramah tamah,
gotong royong, sopan santun, sekarang berubah dengan penampilan yang
nyaris disamakan dengan penampilan yang arogan, cenderung menampilkan
kekerasan yang berujung anarkis. Bahkan bangsa ini juga layak
dikatakan “mudah diadu domba”.
Berbagai
fakta tersebut tidak terlepas dari adanya pengaruh globalisasi.
Tantangan yang kita hadapi adalah bagaimana kita mampu mempertahankan
karakter bangsa kita agar persatuan dan kesatuan bangsa dapat kokoh
berdiri meski di derai badai sekaligus (globalisasi). Disilah peran
pendidikan karakter sebagai solusi sederhana dalam mengatasi hal
tersebut. “Pendidikan karakter yang berbasis kearifan lokal juga
perlu dalam mengatasi arus globalisasi. Dimana kita harus selektif
dan didasari oleh tiga aspek, yakni adaptasi, revitalisasi, dan
selektivitas agar sesuai dengan perkembangan zaman sehingga
pendidikan karakter mampu menjawab tantangan globalisasi, khususnya
bagi para remaja”,ujar Dekan FIS, Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja,
M.A. (Indra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar